^ Scroll to Top

Thursday, June 5, 2008

Menggapai Cinta Allah

Rasulullah s.a.w. bersabda: “Allah, Yang Maha Agung dan Mulia menjumpaiku - yakni dalam tidurku - kemudian berfirman kepadaku, “Wahai Muhammad, katakanlah : “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mencintai-Mu, mencintai siapa saja yang mencintai-Mu, serta mencintai perbuatan yang mengantarkan aku untuk mencintai-Mu.”Dalam amal ubudiyah, cinta (mahbbah) menempati derajat yang paling tinggi. Mencintai Allah dan rasul-Nya berarti melaksanakan seluruh amanat dan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, disertai luapan kalbu yang dipenuhi rasa cinta.

Pada mulanya, perjalanan cinta seorang hamba menapaki derajat mencintai Allah. Namun pada akhir perjalanan ruhaninya, sang hamba mendapatkan derajat wahana yang dicintaiNya. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Allah, Yang Maha Agung dan Mulia menjumpaiku - yakni dalam tidurku - kemudian berfirman kepadaku, “Wahai Muhammad, katakanlah : /Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mencintai-Mu, mencintai siapa saja yang mencintai-Mu, serta mencintai perbuatan yang mengantarkan aku untuk mencintai-Mu.”/

Dalam buku “Mahabbatullah” (mencintai Allah), Imum Ibnu Qayyim menuturkan tahapan-tahapan menuju wahana cinta Allah. Bahwasanya cinta senantiasa berkaitan dcngan amal. Dan amal sangat tergantung pada keikhlasan kalbu, disanalah cinta Allah berlabuh. Itu karena Cinta Allah merupakan refleksi dari disiplin keimanan dan kecintaan yang terpuji, bukan kecintaan yagn tercela yang menjerumuskan kepada cinta selain Allah.

Tahapan-tahapan menuju wahana cinta kepada Allah adalah sebagai berikut:

1. Membaca al-Qur’an dengan merenung dan memahami kandungan maknanya sesuai dengan maksudnya yang benar. Itu tidaklain adalah renungan seorang hamba Allah yang hafal danmampu menjelaskan al-Qur’an agar dipahami maksudnya sesuai dengan kehendak Allah swt. Al-Qur’an merupakan kemuliaan bagi manusia yang tidak bisa ditandingi dengan kemuliaan apapun. Ibnu Sholah mengatakan “Membaca Al-Qur’an merupakan kemuliaan, dengan kemuliaan itu Allah ingin memuliakan manusia di atas mahluk lainnya. Bahkan malaikat pun tidak pernah diberi kemuliaan semacam itu, malah mereka selalu berusaha mendengarkannya dari manusia”.

2. Taqarub kepada Allah swt, melalui ibadah-ibadah sunnah setalah melakukan ibadah-ibadah fardlu. Orang yang menunaikan ibadah-ibadah fardlu dengan sempurna mereka itu adalah yang mencintai Allah. Sementara orang yang menunaikannya kemudian menambahnya dengan ibadah-ibadah sunnah, mereka itu adalah orang yang dicintai Allah. Ibadah-ibadah sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allah, diantaranya adalah: shalat-shalat sunnah, puasa-puasa sunnah,sedekah sunnah dan amalan-amalan sunnah dalam Haji dan Umrah.

3. Melanggengkan dzikir kepada Allah dalam segala tingkah laku, melaui lisan, kalbu, amal dan perilaku. Kadsar kecintaan seseorang terhadap Allah tergantung kepada kadar dzikirnya kepadaNya. Dzikir kepada Allah merupakan syiar bagi mereka yang mencintai Allah dan orang yang dicintai Allah. Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah aza wajalla berfirman :”Aku bersama hambaKu,s elama ia mengingatKu dan kedua bibirnya bergerak (untuk berdzikir) kepadaKu”.

4. Cinta kepada Allah melebihi cinta kepada diri sendiri. Memprioritaskan cinta kepada Allah di atas cinta kepada diri sendiri, meskipun dibayang-bayangi oleh hawa nafsu yang selalu mengajak lebih mencintai diri sendiri. Artinya ia rela mencintai Allah meskipun beresiko tidak dicintai oleh mahluk. Inilah derajat para Nabi, diatas itu derajat para Rasul dan diatasnya lagi derajat para rasulul Ulul Azmi, lalu yang paling tinggi adalah derajat Rasulullah Muhammad s.a.w. sebab beliau mampu melawan kehendak dunia seisinya demi cintanya kepada Allah.

5. Kontinuitas musyahadah (menyaksikan) dan ma’rifat (mengenal) Allah s.w.t. Penglihatan kalbunya terarah kepada nama-nama Allah dan sifat-sifatNya. Kesadaran dan penglihatan kalbunya berkelana di taman ma’rifatullah (pengenalan Allah yang paling tinggi). Barang siapa ma’rifat kepada asma-asma Allah, sifat-sifat dan af’al-af’al Allah dengan penyaksian dan kesadaran yang mendalam, niscaya akan dicintai Allah.

6. Menghayati kebaikan, kebesaran dan nikmat Allah lahir dan batin akan mengantarkan kepada cinta hakiki kepadaNya. Tidak ada pemberi nikmat dan kebaikan yang hakiki selain Allah. Oleh sebab itu, tidak ada satu pun kekasih yang hakiki bagi seorang hamba yang mampu melihat dengan mata batinnya, kecuali Allah s.w.t. Sudah menjadi sifat manusia, ia akan mencintai orang baik, lembut dan suka menolongnya dan bahkan tidak mustahil ia akan menjadikannya sebagai kekasih. Siapa yang memberi kita semua nikmat ini? Dengan menghayati kebaikan dan kebesaran Allah secara lahir dan batin, akan mengantarkan kepada rasa cinta yang mendalam kepadaNya.

7. Ketertundukan hati secara total di hadapan Allah, inilah yang disebut dengan khusyu’. Hati yang khusyu’ tidak hanya dalam melakukan sholat tetapi dalam semua aspek kehidupan ini, akan mengantarkan kepada cinta Allah yang hakiki.

8. Menyendiri bersama Allah ketika Dia turun. Kapankan itu? Yaitu saat sepertiga terakhir malam. Di saat itulah Allah s.w.t. turun ke dunia dan di saat itulah saat yang paling berharga bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepadaNya dengan melaksanakan sholat malam agar mendapatkan cinta Allah.

9. Bergaul dengan orang-orang yang mencintai Allah, maka iapun akan mendapatkan cinta Allah s.w.t.

10. Menjauhi sebab-sebab yang menghalangi komunikai kalbu dan Al-Khaliq, Allah subhanahu wataala.

Soal Jawab Agama

Soalan: Saya pernah mengerjakan umrah beberapa tahun lepas dengan hasrat dan harapan yang menggunung untuk melihat dan melawat tempat-tempat bersejarah selain Kaabah, seperti rumah kediaman Rasulullah bersama isteri pertamanya Khadijah dan kesan sejarah yang lain. Sebaliknya saya sedih dan kecewa bila diberitahu semuanya telah musnah dirobohkan atas alasan tempat itu banyak berlaku bidaah dan khurafat. Angkara siapakah kerja itu semua?

- Amran

Batu Pahat, Johor

JAWAPANNYA: Anda tidak perlu bersedih kerana itulah peristiwa sejarah yang berlaku sejak akhir-akhir ini. Sudah nasib umat Islam akhir zaman di mana telah muncul dari timur negara itu satu gerakan pembaharuan kononnya untuk memerangi bidaah dan khurafat. Mereka dibawa oleh satu fahaman tajdid untuk kembali mengikuti salafu Saleh. Namun menurut ulama Salaf yang sebenar kerjanya tidak pernah meruntuhkan tempat -tempat bersejarah seperti itu. Ini sesuai dengan firman Allah bermaksud, Siapa yang membesarkan tanda (lambang kebesaran agama) Allah maka itulah (lahir) dari hati yang bertaqwa (Surah al-Hajj ayat 32). Malahan tempat tersebut dapat dikawal dan dijaga dengan baik dan penuh amanah sebagai kesan sejarah dan lambang kebesaran agama-Nya. Kesan sejarah tersebut tidak pernah diusik sejak dari masa sahabat, tabi'in-tabi'in sehingga tiba pada masa mereka itu (gerakan pembaharuan), barulah tempat dan lambang agama seperti itu dirobohkan atas alasan untuk memerangi perbuatan bidaah dan khurafat.

Bukankah kerja merobohkan tempat sejarah itu adalah kerja bidaah dan khurafat yang lebih besar lagi dari apa yang disangka? Apa salahnya jika tempat-tempat bersejarah tersebut dipagar dan dikawal dengan baik untuk disaksikan dari jauh oleh generasi kemudian hari nanti sebagai bukti dan lambang kebesaran agama dan mukjizat Rasulullah. Sebagai contoh seperti kesan Rasulullah dan tapak kijang yang terdapat di Taif. Bagi kita kerja bidaah itu (meruntuhkan kesan sejarah) lebih menguntungkan musuh Islam yang cuba untuk menghapuskan sinar atau cahaya agama (lambang keagungannya) dari muka bumi ini. Dalam hal ini Allah berfirman bermaksud Mereka ingin memadamkan cahaya (tanda pertunjuk) agama Allah dengan siaran berita (propaganda dan fitnah) mereka sedangkan Allah tidak ingin selain menyempurnakan cahaya-Nya sekalipun tidak disukai orang bukan Islam, (Maksud Surah As-Saf ayat 8).

Wallahualam.

Pakaian Seksi

SOALAN: Ada pendapat yang mengatakan pakaian seragam pelajar wanita hari ini adalah terlalu seksi dan tidak sesuai dengan peradaban Islam terutama baju sekolahnya yang membuka dada? Adakah benar pendapat itu?

- Salwani Binti Zulhilmi

Kampung Pelekbang

Tumpat, Kelantan

JAWAPAN: Pendapat tersebut tidak benar sama sekali kerana uniform sekolah kita telah lengkap dengan tudungnya. Dan bila seseorang itu bertudung maka itulah pakaian Islam yang diarah dalam agama kita seperti firman-Nya bermaksud, Dan hendaklah kaum wanita itu menutup khimar mereka atas lubang tengkuk (bajunya), (Maksud Surah Al-Nur ayat 31). Ini dapat kita fahami bahawa baju wanita pada zaman itu juga terbuka dan berlubang tengkuk, lantaran itulah Allah mengarah kaum wanita pada masa itu untuk menutupinya dengan khimar dan tudung mereka untuk lebih menutupi auratnya. Ini kerana pakaian yang menutup aurat itulah dikira sebagai pakaian Islam. Wallahualam.

Sumpah

SOALAN: Adakah sah seorang suami itu bersumpah dengan al-Quran kerana untuk mempertahankan pengakuannya bahawa dia tidak akan menduakan saya? Bila saya suruh dia bersumpah dengan al-Quran lalu dengan senang dia lakukan permintaan saya tersebut. Soalan saya adakah sumpahnya itu sah dan adakah dikenakan membayar kaffarah sekiranya dibatalkan sumpah tersebut?

- Siti Sarah

Gombok Setia,Selangor.

JAWAPANNYA: Kata ulama sumpah itu dikira sah dan sekiranya dilanggar sumpahnya tersebut dikenakan membayar kaffarah iaitu sama ada memberi makan sepuluh orang fakir miskin dengan makanan yang biasa dibelanjakan kepada keluarganya, atau memberi mereka pakai atau memerdekakan seorang hamba mukmin, atau kalau tidak didapatinya bolehlah berpuasa sebagai gantinya selama tiga hari. Kata para ulama lagi sumpah tersebut sekalipun tidak pernah berlaku pada masa Rasulullah tetapi ia dapat difahami bahawa si suami telah bersumpah dengan apa yang terdapat dalam al-Quran dengan segala nama Alllah yang tersebut di dalamnya. Wallahualam.

Menyebut Sadaqallahul 'Azim

SOALAN: Apakah hukum menyebut sadaqallahul 'Azim selepas membaca al-Quran? Ada orang berkata tidak boleh kerana ia adalah bidaah dan tidak pernah diamalkan Rasulullah. Bagaimana hukum orang yang melakukannya?

- Muhammad Jiwa

Ampang, Selangor.

JAWAPANNYA: Hukum ini nampaknya ada mengandungi unsur wahabi yang akan mengatakan sesuatu itu bidaah sekiranya tidak dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi bagi kita bukan setiap amalan yang tidak dilakukan Rasulullah itu bidaah kerana ada benda yang Baginda tidak buat tetapi dibenarkan orang lain membuatnya. Amalan itu jadi sunat sekiranya ia dikira baik (khair) dan disuruh agama. Allah berfirman yang bermaksud, Lakukan kebajikan mudah-mudahan kamu berjaya (Surah al-Hajj ayat 77). Contohnya ucapan sadaqallah ini. Sebab kalau kita perhatikan bukan saja elok malah disuruh oleh Allah dalam salah satu firmanNya bermaksud, Katakanlah wahai Muhammad! telah benarlah (firman) Allah itu. (Surah al- Imran ayat 95) . Jadi sekiranya suatu itu ada nasnya maka lakukan tanpa was-was insyaallah ia adalah dari urusan agama, sunah lagi beroleh pahala (bidaah hasanah) hukumnya bukan bidaah lagi. Wallahualam.

Menyamai pahala membaca Al-Quran

Soalan:

Benarkah apa yang diceritakan bahawa membaca surah al-Ikhlas tiga kali dapat menyamai pahalanya dengan membaca al-Quran sekali? Kalau begitu senanglah, baca surah tersebut sahaja?

Khalilah Jamsari

Muar,Johor

Jawapan:

Membaca surah Ikhlas tiga kali pahalanya menyamai sekali khatam membaca al Quran. Ini kerana ada hadisnya seperti apa yang diriwayatkan. Tetapi membaca al-Quran sekali belum tentu dapat menyamai pahalanya sebagaimana tiga kali membaca surah al-Ikhlas tersebut. Ini kerana surah ikhlas itu mengandungi satu pertiga bahagian dari al- Quran, jadi bila sesiapa membacanya tiga kali pasti pahalanya dapat menyamai sekali membaca al Quran. Ini kerana maknanya dapat mencakupi sebahagian dari al- Quran tersebut. Tetapi kita tahu al-Quran itu membicarakan pelbagai bahagian hukum dan ilmu yang lain termasuk uluhiyat, nubuwat, samiaat qasasiat 'ibariyaat dan zikrayat, tamsiiyyat dan lain- lain banyak lagi .Wallahualam.

Biar Miskin Harta Jangan Miskin Jiwa

Ramai orang tidak dapat membezakan antara keseronokan dengan kebahagiaan atau ketenangan jiwa. Atau mungkin mereka tidak pernah menikmati kebahagiaan, sekalipun seringkali mengecapi keseronokan. Begitu ramai penghibur yang bertaraf lima bintang yang berjaya menjadikan ribuan peminatnya bersorakan gembira apabila melihat pertunjukannya, tetapi dia sendiri tidak bahagia. Maka tidak hairanlah jika ramai artis ternama terlibat dengan dadah dan hidup dalam tekanan. Sesungguhnya keseronokan bukan semestinya kebahagiaan atau ketenangan jiwa. Sesiapa yang kita lihat Allah tidak merezekikan kepadanya keseronokan atau kegembiraan tertentu, bukanlah bererti Allah tidak memberikan kepadanya ketenangan jiwa. Maha luas kurniaan Allah, betapa ramai orang yang kurang harta dan rupa, tetapi lebih bahagia daripada yang hartawan dan rupawan.

Bukan semestinya seorang raja, presiden, perdana menteri dan menteri itu lebih bahagia perasaan dan jiwanya dari seorang guru yang tidak dipagari pengawal, tidak dikenali ramai melainkan murid-muridnya yang masih mentah dan terpencil. Entah berapa ramai mereka yang berjawatan besar itu yang jauh lebih serabut perasaan dan jiwa mengenangkan masa depan kedudukan, pengikut dan nasibnya. Lebih daripada keserabutan ribuan manusia yang lain. Mungkin meja makan orang besar itu hebat, layanannya istimewanya, makanannya mahal, tempat tidurnya enak, kenderaannya mewah, sorak-sorai untuknya meriah, tetapi kebahagiaan dan ketenangan jiwa belum tentu muncul di celahan itu semua. Bahkan, berapa ramai manusia dalam dunia ini yang Allah azabkan mereka menerusi harta dan anak pinak mereka. Firman Allah mengenai golongan munafik: (maksudnya) “Oleh itu, janganlah engkau tertarik hati kepada harta benda dan anak-anak mereka, (kerana) sesungguhnya Allah hanya mahu menyeksa mereka dengan harta benda dan anak-anak itu dalam kehidupan dunia” (Surah al-Taubah: ayat 55). Islam bukan memusuhi harta, tanpa harta bukan punca sebenar ketenangan jiwa.

Ramai insan apabila tidak memahami kebesaran Allah menyangka bahawa harta dan kuasa adalah segala-galanya. Lalu dia menganggap sesiapa yang tidak kaya raya dan berkuasa tidak mendapat kurnia kebahagiaan daripada Tuhan. Seakan kurniaan Tuhan itu hanya tertumpu kepada empunya kuasa dan harta. Anggapan ini teramat silap. Ya! Harta dan kuasa boleh menjadi faktor yang membawa ketenangan dan kebahagiaan jiwa ia dikendalikan dengan betul. Namun, jika tidak ia boleh bertukar menjadi punca derita dan sengsara. Entah berapa ramai penguasa atau si kaya yang tidak dapat tidur lena dalam istana mewahnya, ketika si miskin sedang berdengkur menikmati nikmat tidur dalam rumah usangnya. Entah berapa ramai penguasa atau si kaya yang tidak berselera makan di hadapan hidangan mewahnya ketika si miskin dengan begitu enak menikmati sebungkus nasi yang dibalut dengan daun pisang. Maha Agung Allah swt, Dia memberi kurnia nikmatNya dengan pelbagai cara dan tanpa diduga.

Menceritakan

Saya teringatkan satu ceramah Buya Hamka r.h. dalam satu rakaman. Beliau menceritakan bagaimana suatu hari ketika beliau menaiki kenderaan mewah dengan seorang kaya melalui sawah padi, tiba-tiba melihat seorang petani yang berehat dari kepenatan bekerja, sambil isterinya menghidangkan makan tengahari. Walaupun hidangan itu amat biasa sahaja, tetapi dimakan oleh petani tadi dengan penuh selera. Lalu orang kaya yang bersama Buya Hamka berkata: “Buya, saya ada rumah besar dan kenderaan mewah, tetapi tidak pernah berpeluang makan begitu berselera seperti petani itu”. Ya! Demikianlah Allah membahagi-bahagikan nikmat-Nya. Sesiapa yang diberikan makanan yang hebat, belum tentu dapat menikmati keenakan itu di lidahnya. Sesiapa yang diberikan tempat tinggal yang mewah, belum tentu dikurniakan kenikmatan tinggal di dalamnya. Maka, tidak hairan jika ada orang kaya, atau yang berkuasa kurang selera makan. Atau tidak hairanlah jika ada anak si kaya yang lari meninggalkan rumah mewah bapanya. Janganlah pula hairan, jika ada orang miskin yang setiap hari menikmati suapan yang masuk ke dalam mulutnya, dan nyenyak tidurnya. Janganlah pula hairan jika ada perasaan yang lebih mengenang pondok usang dari banglo yang tersergam. Sekali lagi, Islam bukan musuh harta, namun insan hendaklah tahu bersyukur atas segala kurniaan Allah kepadanya. Yang miskin dan yang kaya hendaklah insaf bahawa tujuan daripada makanan dan tempat tinggal yang mewah itu adalah kesedapan dan keselesaan. Bukan semua yang memiliki kemewahan itu pula akan menikmatinya. Juga bukan semua tidak memilikinya, akan terhalang mengecapi kenikmatannya. Maha Besar Allah yang membahagi-bahagikan kurniaan-Nya mengikut kehendak-Nya.

Kadang-kala apabila kita duduk di meja makan bersama orang kaya besar dan orang biasa. Kita lihat si kaya minum air kosong sahaja, ditanya kenapa? Jawabnya, “Saya ada diabetis”. Dia enggan makan kebanyakan lauk yang dihidangkan, katanya, “Saya ada sakit jantung dan darah tinggi”. Sementara ‘yang biasa-biasa di sebelahnya, makan dengan enak tanpa sebarang pantang. Ya, memiliki sesuatu, belum tentu dapat menikmatinya. Untuk minum air kosong dan nasi kosong tidak memerlukan harta yang banyak. Juga air kosong dan nasi kosong biasanya merupakan makanan si miskin yang tidak mampu memiliki. Jika Allah mahu, orang yang berada di tengah kemewahan akan hidup bagaikan si miskin di tengah kefakiran. Sekali lagi, Islam bukan musuh harta, tetapi insan wajib insaf bahawa hanya Allah yang menentukan segala kurniaan. Maka jangan kita sombong atas apa yang kita kelihatan memilikinya, dan janganlah pula kita berdukacita atas apa yang tidak Allah kurniakan kepada kita. Entah berapa banyak nikmat yang telah Allah kurniakan kepada kita, kita tidak menyedarinya. Entah betapa banyak nikmat yang Allah halang orang lain merasainya, kita sangka mereka mengecapinya.

Saya bawakan mukadimah yang panjang ini supaya kita semua insaf bahawa pergantungan sebenar dalam kehidupan ini hanya Allah. Maka, jangan kita menjadi hina jiwa ini di hadapan orang lain hanya kerana melihat kuasa dan harta yang berada di tangannya lalu kita sangka mereka memiliki segala-gala. Jikapun kita kurang harta dan kuasa, janganlah kita miskin jiwa.

Apa yang ingin kita buru daripada kehidupan ini adalah ketenangan jiwa dan kebahagiaan perasaan. Bukan sekadar keseronokan atau kegembiraan yang berakhir dengan tamatnya sesuatu pesta atau sorakan semata. Jika kebahagiaan dan ketenangan yang kita pilih, maka yang dapat memberinya hanyalah Allah. Memiliki harta dan kuasa belum tentu dapat mencapainya. Maka jangan kita mengemis kepada penguasa atau si kaya dalam mencari ketenangan hidup. Merintihlah kepada Allah, hanya Dia yang dapat menganugerahkan kita semua itu. Firman Allah: (maksudnya “Sesiapa yang beramal soleh, sama ada lelaki ataupun perempuan, dalam keadaan dia beriman, maka sesungguhnya Kami akan menghidupkannya dengan kehidupan yang baik; dan sesungguhnya Kami akan membalas mereka, dengan memberikan pahala yang lebih daripada apa yang mereka telah kerjakan” (Surah al-Nahl: ayat 97).

Ramai orang yang kita lihat kaya harta, tetapi miskin jiwanya. Kadang-kala mereka mengampu orang lain, sehingga ke peringkat yang memualkan, hanya semata kerana dunia yang diharapkan. Apalah ertinya harta, jika kita miskin jiwa sehingga seakan menjilat orang lain. Harta dan kuasa itu amat diperlukan jika ia menjadikan kita seperti para khalifah yang soleh dan para hartawan yang bersyukur. Anda lihatlah orang-orang politik apabila mengampu ‘tuan mereka’. Semuanya kerana mengharapkan tempiasan kuasa. Bahkan saya pernah berjumpa orang yang menyandang gelaran agama di sebuah negeri memuja ‘penghuni istana negerinya’ seakan memuja seorang nabi yang maksum. Setiap cakapannya disandarkan kepada istana negerinya. Barangkali dia mengharap tambahan ‘gelaran’ di depan namanya. Atau dia tertelan kata-

kata Hang Tuah yang diriwayatkan menyebut: “Hidupku ini hanya untuk menjadi hamba Sultan Melaka semata”. Saya rasa saya pun baik juga dengan istana negeri saya. Tapi tidaklah sampai begitu. Hormati menghormati sesama manusia ada batasannya. Sebab itu, di sebuah majlis saya pernah menegur pihak tertentu yang menyebut: “Dengan izin Allah SWT dan limpah perkenan tuanku jua”. Saya katakan kepada pengerusi majlis: “Saya percaya pihak yang dipuji itupun tidak menyuruh saudara menyebut demikian. Pujian saudara ini menyanggahi hadis Nabi SAW, daripada Ibn ‘Abbas: “Bahawa seorang lelaki berkata kepada Nabi saw: “Apa yang Allah dan engkau kehendaki”. Maka baginda bersabda kepadanya: “Apakah engkau menjadikanku sekutu Allah, bahkan (katakan): apa yang hanya Allah kehendaki” (Riwayat Ahmad, dinilai sahih oleh al-Albani).” Pujian yang seperti inilah yang akhirnya akan meruntuhkan seseorang atau sesebuah institusi. Nabi Saw lebih mulia daripada kita semua. Pun Allah memerintahkan baginda mengistiharkan: (maksudnya): Katakanlah (wahai Muhammad): “Aku tidak berkuasa mendatangkan manfaat bagi diriku dan tidak dapat menolak mudarat kecuali apa yang dikehendaki Allah. Jika aku mengetahui perkara-perkara yang ghaib, tentulah aku akan mengumpulkan dengan banyaknya benda-benda yang mendatangkan faedah dan (tentulah) aku tidak ditimpa kesusahan. Aku ini tidak lain hanyalah (Pesuruh Allah) yang memberi amaran (bagi orang-

orang yang ingkar) dan membawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (Surah al-Anfal: 188).

Memerdekakan

Islam apabila datang kepada manusia, ia memerdekakan jiwa manusia ini dari menjadi hamba sesama manusia, kepada hanya bertuhankan Allah. Inilah yang disebut oleh Rib‘i bin ‘Amir di hadapan Panglima Angkatan Tentera Parsi: “Allah yang membangkitkan kami agar kami mengeluarkan sesiapa yang dikehendaki-Nya dari pengabdian sesama hamba menuju pengabdian kepada Allah, dari kekejaman agama-agama kepada keadilan Islam, dari dunia yang sempit kepada keluasan dunia dan akhirat”. (Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, 7/48, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah). Lihatlah Bilal bin Rabah r.a., walaupun pada masa dirinya masih menjadi hamba sahaya kepada tuannya, tetapi Islam telah berjaya memerdekakan jiwanya. Dia tidak tunduk kepada kehendak tuannya yang sesat. Sekalipun tubuhnya diseksa pada terik mentari, namun jiwa merdeka hanya tunduk pada Ilahi. Malanglah seorang insan, jika tubuhnya merdeka, cukup makan dan minum, tiba-tiba jiwanya itu bersifat hamba kepada manusia sehingga melanggari batasan Allah swt.

Justeru, jika manusia menganggap tangan yang mempunyai kuasa dan harta itulah punca kebahagiaan dan ketenangan maka mereka akan menjadi hamba sesama manusia. Namun, jika mereka yakin, hanya Allah sahaja yang mampu memberi kedamaian, maka jiwa mereka akan merdeka. Sesiapa yang menjadi hamba manusia, dia tidak akan menjadi hamba Allah yang sebenar. Sesiapa yang menjadi hamba Allah yang sebenar, dia tidak akan berjiwa hamba sesama manusia. Sabda Nabi Saw: “Sesiapa yang akhirat itu tujuan utamanya, maka Allah jadikan kekayaannya dalam jiwanya. Allah mudahkan segala urusannya dan dunia akan datang kepadanya dengan hina (iaitu dalam keadaan dirinya mulia). Sesiapa yang menjadikan dunia itu tujuan utamanya, maka Allah akan letakkan kefakirannya antara kedua matanya. Allah cerai beraikan urusannya, dan dunia pula tidak datang kepadanya melainkan dengan apa yang ditakdirkan untuknya (iaitu dalam keadaan dirinya hina)”. (Riwayat al-Tirmizi, dinilai hasan oleh al-Albani). Daripada hadis ini, maka sesiapa yang benar-benar bergantung kepada Allah, jiwanya akan merdeka dan mulia. Juga dunia itu juga akan sampai kepadanya dengan harga dan maruah dirinya tidak tercemar. Sesiapa yang bergantung kepada manusia, mungkin dunia itu akan sampai ke tangannya, tapi dia akan berada dalam kehinaan dan keluh kesah. Kebimbangan yang tidak putus akan sentiasa menjelma antara kedua matanya, kerana pergantungannya lemah. Orang mukmin yang sebenar bergantung kepada Allah, Raja segala raja, Pemilik alam semesta. Sementara yang berjiwa hamba kepada manusia, akan bertawakal kepada raja atau pemimpin yang menunggu hari untuk mati atau ditumbangkan oleh orang lain seperti Raja Nepal.

Islam mengajar kita berjiwa merdeka, sekalipun kita miskin harta, gelaran dan pangkat. Jiwa yang merdeka daripada perhambaan sesama manusia kepada tunduk hanya untuk Allah itulah yang membawa kepada kebahagiaan dan ketenangan yang sebenar. Kita memerlukan para pemimpin, sahabat handai, orang bawahan yang berjiwa merdeka. Kita tidak mahu menjadi berharta dan berkuasa, tetapi menjadi hamba sesama manusia. Pengemis yang miskin harta, lebih mulia daripada si kaya atau penguasa yang miskin jiwa.

Lagi Imej Keindahan Masjid Nabawi





Keindahan Masjid Nabawi






 
Dear Diary Blogger Template